Hari ini saya jaga di Klinik Memori Poli Saraf RSHS. Seperti biasa.
Datang, agak siang. (soalnya kalau kepagian banyak bengong nunggu pasien.)
Lalu,menunggu pasien ternyata sudah ada pasien datang, dua keluarga. Pasien kontrol. Yang artinya.
Kemudian, menunggu pasien (baru) lain yang sekiranya butuh untuk diperiksa. Sambil membaca (dan mengobrol dengan partner saya).
Kemudian, ditanyain soal dokternya sama pasien yang sedang menunggu. "Dokternya kemana ya neng? Lama pisan..." *nah lho!*
Kemudian, "Hai! Ini kenapa bengong?" masuklah sesosok pria tinggi putih rambut agak jabrik dan wajah yang terlihat sangat segar mengenakan jas putih dan ransel coklat. Usianya kira-kira40 50 tahun, walaupun terlihat lebih muda dari itu. *percaya atau nggak, ini adalah kejadian tiap kali si dokter masuk ke ruang klinik*
Lalu, terjadilah konsultasi sebentar mengenai pasien kontrol yang datang, blah blah blah dan sang dokter pindah ke ruang sebelah. Saya melanjutkan membaca.
Beberapa saat kemudian, "Eh, ini coba ada pasien baru, dites dulu. Dia butuh surat dokter untuk ke kejaksaan." kata dokter. Yang saya pikirkan adalah, mampus, bakal lama dah...bapak pasien vegetatif waktu itu? emang uda bisa (minimal) menggerakkan jari? Dan ternyata bukan. Kenapa saya berpikir begitu, karena bapak itu adalah (hampir jadi) pasien dengan kondisi ter-tidak dapat dikatakan sehat, hanya bisa mengedipkan mata.
Pasien saya hari ini: perempuan, 40 tahun, kurus kering, tinggi, kurang jelas berbicara, badan tidak seimbang, tidak bisa baca tulis, tangan kiri tidak berfungsi.
Kondisi kesehatan: sistem memori mengalami penurunan, pernah mengalami radang selaput saraf yang mungkin tidak ditangani.
Tujuan pemeriksaan: butuh keterangan dokter untuk urusan kejaksaan (warisan?)
Anamnesa: Pasien datang bersama kakak laki-laki dan iparnya. Pasien awalnya sulit untuk menjawab pertanyaan, sehingga harus berkali-kali diulang perintahnya. Pasien terus mengatakan kalau dia malu dan tidak tahu harus menjawab apa. Pasien malu-malu untuk menjawab dan banyak tertawa cekikikan sambil menutup mulut. Si kakak mengatakan kalau dia tidak mau sekolah (dulunya) sehingga tidak bisa baca tulis, dan banyak minum kopi, dia malu karena giginya jelek. Kemudian si dokter memanggil satu persatu kakak dan ipar si pasien. Begitu si ipar meninggalkan ruangan, pasien lebih lancar untuk menjawab dan berkomunikasi dengan tester. Sebelumnya ipar mengatakan kepada tester kalau pasien di rumah seringkali menampakkan perilaku membenci ipar. Di akhir pemeriksaan, pasien berkali-kali minta maaf dengan mata berkaca-kaca karena tidak bisa menjawab dengan baik dan bodoh.
-------------------------------------------------
Pasien tadi pagi salah satu dari pasien 'biasa' saya tiap Selasa di Klinik Memori. Namun, dia agak kurang beruntung karena mungkin tidak begitu banyak cinta yang tercurah padanya dengan kondisinya seperti itu. Saya tidak mengikuti wawancara pihak keluarga karena ketika dokter meng-anamnesa keluarga, saya sedang memeriksa pasien. Saya tidak tahu pasti sejak kapan pasien sakit dan mulai mengalami penurunan fungsi tubuh.Kasian? Ya.
Saya berpikir, begini ya kalau tidak sekolah jadinya? Ditanya ini tidak tahu, ditanya ini cekikikan, berhitung pun tidak bisa. Alangkah menderitanya...
Walaupun ceritanya pasien ini adalah dia tidak mau sekolah dan dulu selalu membolos, saya jadi memikirkan orang-orang di keluarganya dulu yang tidak meng-courage dia lebih untuk sekolah. Mungkin dia anak bungsu yang dimanjakan. Semua hal terbiasa disiapkan, semua hal tersedia. Atau (alm) orang tuanya tipe yang 'gak tegaan' sama anak, kalau mengeluh sedikit sudah dibiarkan. Hari ini saya benar-benar-benar bersyukur disekolahkan orang tua saya sampai selesai S1.
Namun, pasien ini pernah mengalami radang selaput saraf yang tidak tertangani waktu masih bayi.Dulunya demam katanya. Bisakah ini menjadi suatu pengaruh pada kemampuan untuk menuntut ilmu? Hmmm... Demam bayi itu memang tidak bisa diremehkan.
Kemudian saya berpikir, untuk kesekian kalinya setelah memeriksa pasien, kalau nanti orang-orang terdekat saya mengalami hal seperti ini, apakah saya siap untuk mengalaminya? Apakah saya bisa menerima apa yang diberikan Tuhan ini? Melihat, merawat, menjaga, mendukung, tetap mencintai, dan mencari segala upaya supaya mereka bisa kembali sehat. Sanggupkah aku Tuhan? Papa? Ibu? Panji? Suamiku nanti? Anak-anakku nanti? Akan seperti apakah nantinya keadaan ini?
Dan berlanjut ke pertanyaan lainnya:
Apakah saya siap kalau saya tiba-tiba mengalami keadaan seperti salah satu pasien saya? Kalau saya nantinya mengalami keadaan seperti ini (penurunan fungsi tubuh, memori khususnya), akan seperti apa ya? Siapa yang akan merawat? Siapa yang akan tetap ada di samping saya untuk sekedar membuat perasaan saya nyaman?
Yang kemudian berlanjut menjadi pertanyaan-pertanyaan berikut:
Apakah saya sanggup melihat orang tua saya merawat saya dalam keadaan itu? Mungkin saya lebih memilih mati, kalau keadaannya tidak bisa disembuhkan. Kalau mereka tidak ada, siapa lagi? Kalau saya menikah, apakah suami saya mau merawat saya? Bagaimana dengan anak-anak saya?Apakah saya bisa mendapatkan perawatan dan dokter yang tepat seperti sang dokter? Yah, setidaknya yang seperti dia. Sejauh ini, saya melihat komitmen sang dokter pada pasiennya membuat saya berharap akan kesembuhan pasien-pasien yang datang pada kami. Apakah saya tetap mendapatkan cinta yang sama?
Dokter mengajari saya bagaimana caranya agar tetap menjaga otak tetap dalam keadaan baik dan sadar. Katanya, "Otak yang banyak bekerja nantinya akan lebih sehat daripada otak yang tidak pernah digunakan sama sekali." Namun kalau sudah virus dan bakteri yang bekerja, siapa yang bisa tahu? Tuhan. Hanya Dia yang ada di pikiran saya.
Dan saya teringat sepotong doa dari teman saya.
"Tuhan.. Kau sudah tahu batasku di mana.. jangan pernah bikin aku meragukan cintaMu.. walaupun itu cuma cobaan.. aku ga mau cobaan yang sulit.. aku maunya cobaan yang aku tau kenapa aku diberi cobaan... aku mau sulit.. tapi cepat-cepat disadarkan hal apa yang harus aku pelajari.. maka cobaanMu yang terasa berat di aku yang tak berdaya ini.. bisa langsung dipahami dengan otakku yang lemah.." (@diah ramli)
RHA!
Keep healthy, keep funky!
Datang, agak siang. (soalnya kalau kepagian banyak bengong nunggu pasien.)
Lalu,
Kemudian, menunggu pasien (baru) lain yang sekiranya butuh untuk diperiksa. Sambil membaca (dan mengobrol dengan partner saya).
Kemudian, ditanyain soal dokternya sama pasien yang sedang menunggu. "Dokternya kemana ya neng? Lama pisan..." *nah lho!*
Kemudian, "Hai! Ini kenapa bengong?" masuklah sesosok pria tinggi putih rambut agak jabrik dan wajah yang terlihat sangat segar mengenakan jas putih dan ransel coklat. Usianya kira-kira
Lalu, terjadilah konsultasi sebentar mengenai pasien kontrol yang datang, blah blah blah dan sang dokter pindah ke ruang sebelah. Saya melanjutkan membaca.
Beberapa saat kemudian, "Eh, ini coba ada pasien baru, dites dulu. Dia butuh surat dokter untuk ke kejaksaan." kata dokter. Yang saya pikirkan adalah, mampus, bakal lama dah...bapak pasien vegetatif waktu itu? emang uda bisa (minimal) menggerakkan jari? Dan ternyata bukan. Kenapa saya berpikir begitu, karena bapak itu adalah (hampir jadi) pasien dengan kondisi ter-tidak dapat dikatakan sehat, hanya bisa mengedipkan mata.
Pasien saya hari ini: perempuan, 40 tahun, kurus kering, tinggi, kurang jelas berbicara, badan tidak seimbang, tidak bisa baca tulis, tangan kiri tidak berfungsi.
Kondisi kesehatan: sistem memori mengalami penurunan, pernah mengalami radang selaput saraf yang mungkin tidak ditangani.
Tujuan pemeriksaan: butuh keterangan dokter untuk urusan kejaksaan (warisan?)
Anamnesa: Pasien datang bersama kakak laki-laki dan iparnya. Pasien awalnya sulit untuk menjawab pertanyaan, sehingga harus berkali-kali diulang perintahnya. Pasien terus mengatakan kalau dia malu dan tidak tahu harus menjawab apa. Pasien malu-malu untuk menjawab dan banyak tertawa cekikikan sambil menutup mulut. Si kakak mengatakan kalau dia tidak mau sekolah (dulunya) sehingga tidak bisa baca tulis, dan banyak minum kopi, dia malu karena giginya jelek. Kemudian si dokter memanggil satu persatu kakak dan ipar si pasien. Begitu si ipar meninggalkan ruangan, pasien lebih lancar untuk menjawab dan berkomunikasi dengan tester. Sebelumnya ipar mengatakan kepada tester kalau pasien di rumah seringkali menampakkan perilaku membenci ipar. Di akhir pemeriksaan, pasien berkali-kali minta maaf dengan mata berkaca-kaca karena tidak bisa menjawab dengan baik dan bodoh.
-------------------------------------------------
Pasien tadi pagi salah satu dari pasien 'biasa' saya tiap Selasa di Klinik Memori. Namun, dia agak kurang beruntung karena mungkin tidak begitu banyak cinta yang tercurah padanya dengan kondisinya seperti itu. Saya tidak mengikuti wawancara pihak keluarga karena ketika dokter meng-anamnesa keluarga, saya sedang memeriksa pasien. Saya tidak tahu pasti sejak kapan pasien sakit dan mulai mengalami penurunan fungsi tubuh.Kasian? Ya.
Saya berpikir, begini ya kalau tidak sekolah jadinya? Ditanya ini tidak tahu, ditanya ini cekikikan, berhitung pun tidak bisa. Alangkah menderitanya...
Walaupun ceritanya pasien ini adalah dia tidak mau sekolah dan dulu selalu membolos, saya jadi memikirkan orang-orang di keluarganya dulu yang tidak meng-courage dia lebih untuk sekolah. Mungkin dia anak bungsu yang dimanjakan. Semua hal terbiasa disiapkan, semua hal tersedia. Atau (alm) orang tuanya tipe yang 'gak tegaan' sama anak, kalau mengeluh sedikit sudah dibiarkan. Hari ini saya benar-benar-benar bersyukur disekolahkan orang tua saya sampai selesai S1.
Namun, pasien ini pernah mengalami radang selaput saraf yang tidak tertangani waktu masih bayi.Dulunya demam katanya. Bisakah ini menjadi suatu pengaruh pada kemampuan untuk menuntut ilmu? Hmmm... Demam bayi itu memang tidak bisa diremehkan.
Kemudian saya berpikir, untuk kesekian kalinya setelah memeriksa pasien, kalau nanti orang-orang terdekat saya mengalami hal seperti ini, apakah saya siap untuk mengalaminya? Apakah saya bisa menerima apa yang diberikan Tuhan ini? Melihat, merawat, menjaga, mendukung, tetap mencintai, dan mencari segala upaya supaya mereka bisa kembali sehat. Sanggupkah aku Tuhan? Papa? Ibu? Panji? Suamiku nanti? Anak-anakku nanti? Akan seperti apakah nantinya keadaan ini?
Dan berlanjut ke pertanyaan lainnya:
Apakah saya siap kalau saya tiba-tiba mengalami keadaan seperti salah satu pasien saya? Kalau saya nantinya mengalami keadaan seperti ini (penurunan fungsi tubuh, memori khususnya), akan seperti apa ya? Siapa yang akan merawat? Siapa yang akan tetap ada di samping saya untuk sekedar membuat perasaan saya nyaman?
Yang kemudian berlanjut menjadi pertanyaan-pertanyaan berikut:
Apakah saya sanggup melihat orang tua saya merawat saya dalam keadaan itu? Mungkin saya lebih memilih mati, kalau keadaannya tidak bisa disembuhkan. Kalau mereka tidak ada, siapa lagi? Kalau saya menikah, apakah suami saya mau merawat saya? Bagaimana dengan anak-anak saya?Apakah saya bisa mendapatkan perawatan dan dokter yang tepat seperti sang dokter? Yah, setidaknya yang seperti dia. Sejauh ini, saya melihat komitmen sang dokter pada pasiennya membuat saya berharap akan kesembuhan pasien-pasien yang datang pada kami. Apakah saya tetap mendapatkan cinta yang sama?
Dokter mengajari saya bagaimana caranya agar tetap menjaga otak tetap dalam keadaan baik dan sadar. Katanya, "Otak yang banyak bekerja nantinya akan lebih sehat daripada otak yang tidak pernah digunakan sama sekali." Namun kalau sudah virus dan bakteri yang bekerja, siapa yang bisa tahu? Tuhan. Hanya Dia yang ada di pikiran saya.
Dan saya teringat sepotong doa dari teman saya.
"Tuhan.. Kau sudah tahu batasku di mana.. jangan pernah bikin aku meragukan cintaMu.. walaupun itu cuma cobaan.. aku ga mau cobaan yang sulit.. aku maunya cobaan yang aku tau kenapa aku diberi cobaan... aku mau sulit.. tapi cepat-cepat disadarkan hal apa yang harus aku pelajari.. maka cobaanMu yang terasa berat di aku yang tak berdaya ini.. bisa langsung dipahami dengan otakku yang lemah.." (@diah ramli)
RHA!
Keep healthy, keep funky!