Belakangan ini saya sedang bingung. Saya bingung karena hal yang sudah lama saya lewatkan, hampir setahun lamanya. And it keeps coming back right now.
Setahun yang lalu, saya memang suka sama dia. Setahun yang lalu, mungkin dia adalah yang paling tepat setelah semua yang lewat. Setahun yang lalu, keberadaannya begitu pas dengan rencana-rencana yang saya buat. Hanya saja, semua itu tidak bertahan lama, tidak sampai seumur jagung malah.
Dulu saya pikir, mungkin kali ini bisa berhasil dengan semua ketepatan yang saya lihat. Dulu saya berpikir tidak perlu terburu-buru untuk menaruh seluruh hati. Lihat-lihat dulu. Tapi saya memang bukan orang yang setengah-setengah untuk urusan ini. Ketika memulai, saya melihat kesungguhan. Ketika saya berusaha mengembalikan kesungguhannya, saya sampai perlu mencari lebih dalam yang dulu pernah diperlihatkannya. Saya kecewa, merasa dibohongi. Cuma manis di awalnya sajakah? Tetap saja, saya masih meyakinkan diri untuk mempercayainya. Sampai akhirnya dia yang memutuskan pergi dengan sendirinya. Bahkan bukan saya yang seharusnya meminta.
Setelah berakhir pun sebisa mungkin saya tidak menghindarinya ataupun mengacuhkannya seperti sesosok asing. Beberapa kali kembali menjalin silaturahmi. Dan beberapa kali juga dia kembali memberi lembaran-lembaran kekecewaan yang sama seperti dulu. Saya pikir, CUKUP!
Dulu saya sempat tidak habis pikir mengapa harus mengambil jalan yang berbeda. Lalu saya berpikir, memang tidak seharusnya kami bersama, memang dia bukan buat saya, memang saya patut mendapatkan yang lebih bisa menjaga dan memegang hati saya. akhirnya saya bisa melewati emosi-emosi negatif itu seperti yang lalu-lalu.
Sekarang, dia datang. Setelah berkali-kali membagikan kekecewaan dengan gratis, dia masih berani meminta kesediaan saya untuk menemuinya. Mau apa lagi?
Saya tidak tahu apa yang akan dia katakan. Saya tidak berani membayangkan kata-kata yang meluncur dari mulutnya.
Aaahh sudahlah...tidak bisakah kamu juga menerima keadaan yang sudah kau ciptakan sendiri?
Ketika dia mengutarakan niatnya untuk mengajak bertemu, saya bingung sekaligus agak takut.
Saya tidak punya perasaan apa-apa lagi. Saya tidak mau dia mengutarakan perasaan-perasaan yang DULU yang tidak tersampaikan. Saya tidak mau mendengarkan penyesalannya. Saya tidak mau bertemu karena saya takut dia merasakan hal-hal yang sudah saya lewati. Saya sudah tidak bisa bersikap manis, atau setidaknya berpura-pura manis. Saya tidak mau membuat dia jatuh cinta lagi sama saya. Saya tidak mau jatuh cinta lagi sama dia. Dia sudah menjadi orang asing buat saya.
Tidak mengertikah kamu dari semua percakapan yang sudah kita lakukan setelah kamu pergi, kalau saya sudah berhenti melihat masa lalu?
Saya memang belum tahu apa yang ingin dia katakan. Saya memang tidak tahu apa yang ada dipikirannya sekarang. Saya tidak perduli walaupun ada yang bilang dia bukan dia yang dulu. Atau dia adalah dia yang lebih baik. Saya tidak mau tahu itu. Saya hanya tahu, saya bahagia dengan apa adanya saya sekarang. Sendirian.
Dan dia hanya orang asing buat saya.
Teman saya pernah menulis begini,
Jadi, maafkan kalau saya memutuskan dengan egois bahwa saya sudah tidak mau bertemu dengan dia lagi. Saya rasa saya berhak atas diri saya sekarang. Dan dia tidak. Walaupun dengan segala janji yang pernah kami buat.
Dia memiliki saya di masa lalu. Dan saya di masa lalu itu sudah tidak ada pada saya di masa sekarang.
Apapun yang terjadi padanya setelah keputusan ini dibuat pun bukan urusan saya. Kejam? Bukan, bukan kejam. Saya berhak kan untuk menentukan apa-apa yang bisa membuat saya bahagia dan tidak? Saya hanya melakukan itu kok.
Read Happily All..
:)
Setahun yang lalu, saya memang suka sama dia. Setahun yang lalu, mungkin dia adalah yang paling tepat setelah semua yang lewat. Setahun yang lalu, keberadaannya begitu pas dengan rencana-rencana yang saya buat. Hanya saja, semua itu tidak bertahan lama, tidak sampai seumur jagung malah.
Dulu saya pikir, mungkin kali ini bisa berhasil dengan semua ketepatan yang saya lihat. Dulu saya berpikir tidak perlu terburu-buru untuk menaruh seluruh hati. Lihat-lihat dulu. Tapi saya memang bukan orang yang setengah-setengah untuk urusan ini. Ketika memulai, saya melihat kesungguhan. Ketika saya berusaha mengembalikan kesungguhannya, saya sampai perlu mencari lebih dalam yang dulu pernah diperlihatkannya. Saya kecewa, merasa dibohongi. Cuma manis di awalnya sajakah? Tetap saja, saya masih meyakinkan diri untuk mempercayainya. Sampai akhirnya dia yang memutuskan pergi dengan sendirinya. Bahkan bukan saya yang seharusnya meminta.
Setelah berakhir pun sebisa mungkin saya tidak menghindarinya ataupun mengacuhkannya seperti sesosok asing. Beberapa kali kembali menjalin silaturahmi. Dan beberapa kali juga dia kembali memberi lembaran-lembaran kekecewaan yang sama seperti dulu. Saya pikir, CUKUP!
Dulu saya sempat tidak habis pikir mengapa harus mengambil jalan yang berbeda. Lalu saya berpikir, memang tidak seharusnya kami bersama, memang dia bukan buat saya, memang saya patut mendapatkan yang lebih bisa menjaga dan memegang hati saya. akhirnya saya bisa melewati emosi-emosi negatif itu seperti yang lalu-lalu.
Sekarang, dia datang. Setelah berkali-kali membagikan kekecewaan dengan gratis, dia masih berani meminta kesediaan saya untuk menemuinya. Mau apa lagi?
Saya tidak tahu apa yang akan dia katakan. Saya tidak berani membayangkan kata-kata yang meluncur dari mulutnya.
Aaahh sudahlah...tidak bisakah kamu juga menerima keadaan yang sudah kau ciptakan sendiri?
Ketika dia mengutarakan niatnya untuk mengajak bertemu, saya bingung sekaligus agak takut.
Saya tidak punya perasaan apa-apa lagi. Saya tidak mau dia mengutarakan perasaan-perasaan yang DULU yang tidak tersampaikan. Saya tidak mau mendengarkan penyesalannya. Saya tidak mau bertemu karena saya takut dia merasakan hal-hal yang sudah saya lewati. Saya sudah tidak bisa bersikap manis, atau setidaknya berpura-pura manis. Saya tidak mau membuat dia jatuh cinta lagi sama saya. Saya tidak mau jatuh cinta lagi sama dia. Dia sudah menjadi orang asing buat saya.
Tidak mengertikah kamu dari semua percakapan yang sudah kita lakukan setelah kamu pergi, kalau saya sudah berhenti melihat masa lalu?
Saya memang belum tahu apa yang ingin dia katakan. Saya memang tidak tahu apa yang ada dipikirannya sekarang. Saya tidak perduli walaupun ada yang bilang dia bukan dia yang dulu. Atau dia adalah dia yang lebih baik. Saya tidak mau tahu itu. Saya hanya tahu, saya bahagia dengan apa adanya saya sekarang. Sendirian.
Dan dia hanya orang asing buat saya.
Teman saya pernah menulis begini,
Kukira kita semua tahu bahwa manusia tidaklah statis ketika berhadapan dengan waktu. Lebih baik kita terus berjalan. Biar luka, biar sakit, biar nyeri, biar ngilu, biar perih.
Biar saja waktu yang menggerus.
Ada hidup yang menanti untuk diurus. Dan itu adalah hidupku, yang terlalu lama terbengkalai karena cintaku dulu tak putusputus.
Jadi, maafkan kalau saya memutuskan dengan egois bahwa saya sudah tidak mau bertemu dengan dia lagi. Saya rasa saya berhak atas diri saya sekarang. Dan dia tidak. Walaupun dengan segala janji yang pernah kami buat.
Dia memiliki saya di masa lalu. Dan saya di masa lalu itu sudah tidak ada pada saya di masa sekarang.
Apapun yang terjadi padanya setelah keputusan ini dibuat pun bukan urusan saya. Kejam? Bukan, bukan kejam. Saya berhak kan untuk menentukan apa-apa yang bisa membuat saya bahagia dan tidak? Saya hanya melakukan itu kok.
Read Happily All..
:)